CILACAP, Patrolikencana.com — Hampir satu dekade waktu berjalan tepatnya menjelang satu tahun masa kepemimpinan DR. Syamsul Aulya Rachman S.STP., M.Si sebagai Bupati Cilacap periode 2024-2029.
Sebuah tanya besar menyeruak ke ruang publik Masihkah kompas kebijakan sang bupati berkiblat pada Visi dan Misi yang dulu digaungkan? Hal tersebut diutarakan tokoh masyarakat, Hadi Try Wasisto R.
Menurutnya, saat masa kampanye, publik seolah terhipnotis oleh narasi “Cilacap Maju dan Besar”. Janji akan kemandirian, kemajuan pendidikan, kesehatan, serta tata kelola pemerintahan yang bersih, laksana angin segar yang membuai harapan rakyat.
“Syamsul dengan lantang menjanjikan sebuah era baru yang steril dari praktik-praktik korosif: tidak mengambil gaji, serta mengharamkan jual beli jabatan maupun proyek,” katanya.
Namun menurutnya, politik bukanlah ruang hampa. Di balik elegansi retorika, tersimpan realitas biaya kontestasi yang tidak sedikit.
“Desas-desus mengenai dana puluhan miliar rupiah yang digelontorkan demi menduduki kursi ‘Cilacap-1’ memicu spekulasi tentang adanya ‘hutang budi’ politik kepada para penyokong dana dan tim sukses,” ujar Hadi.
Publik kini mulai menyoroti kontradiksi yang muncul ke permukaan. Salah satunya adalah kebijakan efisiensi ekstrem pada Anggaran 2026.
Plt. Camat Sampang, Indah Wahyusari SE, MSi, mengungkapkan bahwa alokasi anggaran dasar, bahkan untuk sekadar air minum di kantor pemerintahan, bakal ditiadakan.
Ia mempertanyakan logika efisiensi tersebut yang dinilai tidak proporsional.
“Jika bicara efisiensi, mengapa program Bupati ‘Ngantor di Desa’ yang melibatkan mobilisasi puluhan pejabat tetap berjalan? Apa urgensinya?” kritik Hadi.
Bagi sebagian kalangan, program tersebut justru dianggap menciptakan jarak psikologis. Alih-alih merasa terlayani, masyarakat justru merasa sungkan dan minder menghadapi barisan pejabat yang terkadang masih menempatkan diri dengan mentalitas “Raja” ketimbang “Pelayan Rakyat”.
“Dilema ini menempatkan Bupati Syamsul di persimpangan jalan yang terjal. Di satu sisi, ia terikat janji normatif kepada rakyat, namun di sisi lain, bayang-bayang kepentingan para ‘investor politik’ dan tim sukses yang mengharapkan timbal balik, baik berupa jabatan maupun proyek, menjadi ujian integritas yang nyata,” paparnya.
Hadi Try Wasisto mengingatkan bahwa legitimasi hukum memang berada di tangan bupati, namun legitimasi moral tetap dipegang oleh rakyat.
“Jabatan politik ada batas akhirnya. Pada saatnya, siapapun akan kembali menjadi rakyat biasa. Jangan sampai ambisi menghalalkan segala cara,” tegasnya.
Kini, bola panas ada di tangan DR. Syamsul Aulia Rahman. Apakah Visi “Cilacap Maju dan Besar” akan benar-benar menjadi manifestasi kesejahteraan rakyat, ataukah hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah sebagai janji manis yang layu sebelum berkembang.
“Rakyat Cilacap masih setia menanti bukti, bukan sekadar janji di atas kertas atau seremoni yang sunyi substansi,” tandasnya. (Mbah Wasis)














